Jumaat, 20 Julai 2012

KISAH PENARIK BECA

Terbaca entri ini membuat saya terpanggil untuk berkongsi dengan anda. Kisah dedikasi seorang penarik beca yang mengorbankan tenaga hanya kerana ingin membantu sebuah yayasan anak-anak yatim. Kudrat diperah dan hasilnya hanya untuk sebuah pengorbanan....

Bai Fang Li : Sebuah Cinta yang Istimewa Untuk Seseorang Yang Luar Biasa


Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang penarik beca. Seluruh hidupnya dihabiskan di atas becanya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becanya. Menghantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan upah wang yang kecil. Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becanya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk beribadah. Dia melalang dijalanan, di atas becanya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam lapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, kerana peribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Namun kerana kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin kerana kesian, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah itu dengan nafas yang turun naik (apalagi kalau jalan berbukit) dan peluh yang bercucuran berusaha mengayuh beca tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah bilik reput yang usang, bersama dengan banyak penarik beca. Pondok itupun bukan miliknya, kerana ia menyewanya secara harian. Kelengkapan di bilik itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek, tempat dimana dia merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh beca. Bilik itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, di ruang itu juga ia menerima tetamu yang memerlukan bantuannya, di ruang itu juga ada sebuah kotak yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring comel dan ada sebuah tempat minum. Dihujung ruangan tergantung sebuah lampu minyak tanah, lampu yang dinyalakan untuk menerangi kegelapan di bilik tua itu bila malam telah menjelang.





Bai Fang Li tinggal sendirian dipondoknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, kerana sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becanya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu tuanya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, kerana semua wang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.





Ceritanya dimulai saat hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah menghantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan menggendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa wang yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu. Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah wang kecil. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari syurga. Hati Bai Fang Li tersentuh melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal wang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.


“Wang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya” jawab anak itu. “Orang tuamu di mana?” tanya Bai Fang Li. “Saya tidak tahu, ayah ibu saya, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil” sahut anak itu. Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping. Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu yang tidak terlalu peduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.





Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak. Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becanya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan wang. Dan seluruh wang penghasilannya setelah dipotong sewa bilik dan pembeli dua potong roti kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rosak yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeza warna. Bai Fang Li mengayuh beca tuanya selama 365 hari setahun, tanpa peduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah cuaca dingin atau dalam panas matahari yang sangat menyengat tubuh kurusnya.

“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa peduli dengan dirinya sendiri. Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggayuh becanya demi memperoleh wang untuk menambah dermanya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (RM247) yang disimpannya dengan rapi ddalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh beca lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin wang terakhir yang dapat saya sumbangkan” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.


Bai Fang Li meinggal dunia pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya wang sebesar RMB 350.000 (RM 173,429.36) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin. Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan ” Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa”.

0 ulasan:

Catat Ulasan